Baca selengkapnya

Halo, sobat. Apa kabar? Semoga selalu sehat dan bahagia, ya. Aamiin.
Nah, setelah kemarin sudah ada edisi Surya Lesmana, Tokoh Inspiratif Minggu Ini yang akan diulas oleh Pancarobaku adalah seorang tokoh nasional yang mimin yakin sudah tidak asing lagi di benak sobat. Penulis ulung, tokoh reformasi, sangat kritis, pembawaannya tenang, penuh karisma dan dekat dengan masyarakat.



Yup, Emha Ainun Nadjib atau yang sering dikenal dengan Cak Nun. Cak Nun sangat luwes dalam memadukan dinamika kesenian, agama, politik, ekonomi maupun perasaan yang dimiliki oleh manusia. Perkataan maupun karyanya kerap kali menjadi inspirasi bagi orang lain untuk berubah ke arah yang lebih baik. 

Tahukah kamu sobat? Tepat di hari ini, beliau merayakan hari ulang tahunnya yang ke 65. Doa kami dari Pancarobaku untuk beliau, semoga beliau selalu diberikan kesehatan dan dapat selalu menginspirasi kita semua. Aamiin. 27 Mei 1953 menjadi saksi bahwa Indonesia memiliki seseorang yang nantinya akan menjadi tokoh yang berpengaruh di negeri ini.

Cak Nun lahir di Jombang, Ia merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Gontor Ponorogo karena melakukan ‘demo’ melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya, kemudian pindah ke Yogya dan tamat SMA Muhammadiyah I. Istrinya yang sekarang, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi.

Perjalanan hidup Cak Nun cukup menarik. Cak Nun pernah lima tahun hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta. Tepatnya antara tahun 1970 sampai tahun 1975. Beliau belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius. Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).

Dalam kesehariannya, Cak Nun kerap terjun langsung ke masyarakat. Di samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang Mbulan, beliau juga berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, rata-rata 10-15 kali per bulan bersama Grup Musik Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40-50 acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Selain itu ia juga menyelenggarakan acara Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki. Kenduri Cinta adalah forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender.



Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat. pemahaman mengenai konsep yang ia sebut sebagai manajemen keberagaman itu. Beliau selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah.

“Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah,” katanya.


Cak Nun dan Reformasi

Bagi sobat yang pernah menyaksikan peristiwa 98, tentu nama yang satu ini tidak asing lagi. Peristiwa 98 yang merupakan terjadinya Reformasi di Indonesia dengan menggulingkan Soeharto adalah suatu peristiwa yang sangat luar biasa. Ada banyak tokoh yang turut serta membidani dan ikut mendukung adanya Reformasi di Indonesia. Tak kurang Gus Dur, Megawati, Amin Rais dan tentunya Cak Nun juga merupakan tokoh yang mendukung Reformasi kala itu.

Ada beberapa hal yang menarik ketika membahas Cak Nun dan reformasi. Cak Nun adalah salah satu tokoh yang dengan lantang meminta Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya. Akan tetapi reformasi yang terjadi sampai saat ini, kata beliau, merupakan kepalsun belaka. Mengapa?

Pancarobaku mengutip beberapa hasil wawancara beliau dengan Detik sebagai berikut :

Anda termasuk tokoh yang diundang Presiden Soeharto pada 19 Mei 1998. Bisa diceritakan keinginan Soeharto saat itu kepada para tokoh?

Pak Soeharto tidak pernah mengundang sembilan orang, termasuk saya, untuk bertemu pada 19 Mei 1998. Kami berlima (Cak Nurcholish Madjid, Malik Fadjar, Utomo Dananjaya, S. Drajat dan Cak Nun) mengirim surat kepada Pak Harto pada 16 Mei 1998, yang isinya menyatakan sebaiknya beliau turun dari jabatannya, dan kami menawarkan satu dari empat cara.

Pada 17 Mei malam, sesudah salat isya, Pak Harto menelepon Cak Nur. Kemudian Cak Nur meneruskan hasilnya kepada kami berempat. Pak Harto menyetujui isi surat itu untuk melepaskan jabatan. Tapi minta tolong ditemani selama proses peralihan kekuasaan serta bersama-sama menjaga agar situasi aman dan tidak semakin terancam oleh anarkisme, penjarahan, dan lain-lain. Maka disepakati untuk bertemu dengan lima orang yang menandatangani surat itu pada 19 Mei pukul 09.00 WIB. Pak Harto mengusulkan bagaimana kalau beberapa orang tua juga dilibatkan. Akhirnya, dari lima orang menjadi sembilan orang, termasuk KH Ali Yafie dan Gus Dur.



Saat pertemuan itu, apakah Soeharto sudah memperlihatkan tanda-tanda memang akan mundur atau masih berkeras tetap bertahan?

Pertemuan sembilan orang dengan Pak Harto pada 19 Mei 1998 itu basa-basi. Ibarat pengantin, itu sekadar resepsinya, sedangkan akadnya sudah duluan. Tanggal 18 malamnya, Pak Harto ambil keputusan mau lengser. Kami ngobrol santai saja, tidak ada ketegangan, sehingga 16 bom yang tersebar di delapan pom bensin dan delapan titik jalan tol yang mengitari Istana tidak perlu diledakkan. Namun ada “mercon” kecil yang dipelajari oleh Pak Harto dalam silaturahmi itu adalah pernyataan "tidak jadi presiden tidak patheken"

Secara pribadi, ada yang penting bagi saya, yaitu lima menit sebelum pertemuan. Di luar ruangan, Cak Nur dan saya berjabat tangan untuk saling berjanji, sesudah Pak Harto turun, kami berdua bersepakat untuk melarang diri terlibat atau menjadi pejabat. Masalah yang tersisa adalah tidak tersepakatinya formula peralihan kekuasaan. Itu yang menjadi salah satu sebab kenapa akhirnya reformasi 1998 itu bukan hanya gagal dan omong kosong, tapi juga palsu, bergelimang kemunafikan yang sangat menjijikkan.




Jauh lebih susah mengurusi seorang munafik reformasi dibanding 100 orang kafir Orde Baru. Sebab, karakter kemunafikan mengizinkan putih adalah merah, merah adalah hijau, hijau adalah biru, biru adalah cokelat, demikian seterusnya tanpa batas. Kalau disebut sesuatu yang istimewa, mungkin ada. Bahwa Presiden Soeharto yang menurut pengetahuan dunia diseret turun, dengan dosa-dosa nasionalnya yang menggunung, mestinya lari ke luar negeri dan minta suaka, kemudian kelak meninggal di pengasingan dan dikubur di tanah kutukan seluruh rakyat Indonesia. Tapi Soeharto hidup tenteram di Cendana, menyirami kembang, memomong cucu-cucunya yang berkunjung, merokok klobot dan terus tersenyum kepada langit dan bumi. Tidak ada demo kaum aktivis ke Cendana, dan warisan-warisannya yang terkutuk, misalnya TMII dan 5.000 masjid Amal Bakti Pancasila, tidak dibakar, diambrukkan, atau dimusnahkan.

Bagaimana formula peralihan kekuasaan yang sebenarnya?

Bersama Cak Nur (almarhum), kami merumuskan bahwa reformasi adalah pergantian kekuasaan total. Pak Harto turun dengan seluruh jajaran kabinetnya. MPR dan DPR bubar, kemudian kita bentuk Komite Reformasi, terdiri atas 45 tokoh reformis. Komite Reformasi itu akan secara darurat menjadi MPR sementara, yang bertugas mengangkat kepala negara sementara dan menugasinya untuk membikin pemilu paling lambat setahun sesudah Pak Harto lengser. Di antara 45 anggota Komite Reformasi itu ada tiga tokoh Orba: Akbar Tandjung, Jenderal Wiranto, dan Pak Harto sendiri, yang berseberangan melawan 42 orang. Butuh waktu cukup lama bagi bangsa Indonesia untuk menyadari bahwa ternyata Akbar Tandjung dan Wiranto sesungguhnya adalah tokoh reformasi, dan mungkin akan tampil jadi calon presiden 2014.

Sebenarnya masih banyak hal menarik lainnya jika kita akan membahas seputar reformasi sobat. Jadi, kita langsung saja ke topik berikutnya ya sobat.



Cak Nun dan Letto

Loh, apa hubungannya beliau dengan Grup Band Letto?
Hayo, mungkin sebagian dari sobat ada yang berfikiran seperti itu ya kan? Sobat tentu sudah tidak asing lagi kan dengan Grup Band Letto?



Yups, Band ini terkenal karena beberapa karyanya sempat melejit dan laris dijadikan soundtrack sinetron di Indonesia. Contohnya yang paling membekas tentu lagu Ruang Rindu yang dijadikan soundtrack sinetron Intan. Di ruang rindu, kita bertemu. Wah, pasti sambil nyanyi kan?

Tahukah kalian sobat? Vokalis dari Grup Band Letto yaitu Sabrang Mowo Damar Panuluh lebih dikenal sebagai Noe merupakan anak pertama dari Cak Nun dan istri pertamanya, Neneng Suryaningsih. Sayangnya saat dirinya menginjak umur 6 tahun, orangtuanya memutuskan untuk bercerai.

Noe menghabiskan masa SD di SD 1 Yosomulyo, Lampung kemudian melanjutkan ke SMP Xaverius Metro, Lampung. Saat Noe masih SMP, pamannya memberikan kaset bekas kumpulan lagu-lagu Queen. Setelah mendengarkan berulang kali, akhirnya dia mempunyai pikiran bagaimana membuat musik yang bisa menggerakkan rasa dan menggerakkan perasaan orang lain. Mulailah Noe bersentuhan dengan keyboard, alat musik yang pertama ia sentuh. Setelah lulus SMP, Noe kembali ke Yogyakarta dan meneruskan sekolah di SMU 7 Yogyakarta.

Ia bergabung dengan ayahnya dan bergaul bersama komunitas ayahnya. SMU 7 Yogyakarta-lah yang mempertemukan Noe dengan Ari, Dedy dan Patub. Pada waktu itu mereka belum membentuk band. Pada tahun 1998 Noe memutuskan untuk melanjutkan kuliah di University of Alberta, Kanada. Ia mengambil dua jurusan sekaligus, yaitu matematika dan fisika. Lima tahun kemudian, ia pulang ke Yogya dengan membawa gelar Bachelor of Mathematic dan Bachelor of Physics.

Setelah kembali ke tanah air dan bertemu kembali dengan kawan-kawan karibnya, Noe sering bermain musik di studio Kiai Kanjeng, grup musik pimpinan Novi Budianto yang selalu menjadi partner dan sahabat Cak Nun, ayahnya. Dari studio Kiai Kanjeng, Noe bisa mengerti bagaimana mixing, mastering memproduksi dan menulis musik. Noe mulai menulis lirik lagu, yang akhirnya banyak tertuang dalam album perdana Letto, Truth, Cry, and Lie.

Pada tahun 2004, Musica tertarik pada lagu yang ditawarkan Noe dan kawan-kawannya. Barulah mereka membentuk band yang diberi nama Letto. Pada tahun 2006, Letto mengeluarkan debut album berjudul Truth, Cry, and Lie. Keseriusan bermusik membuahkan double platinum bagi Letto. Kesuksesan itu memacu Letto untuk membuat album kedua, "Don't Make Me Sad" (2007).

Sejak 10 Juni 2008 mendirikan Production House Pic[k]Lock Productions bersama Dewi Umaya Rachman. Film perdananya Minggu Pagi di Victoria Park dirilis 10 Juni 2010. Film kedua mereka; RAYYA, Cahaya Di Atas Cahaya ditulis oleh bapaknya sendiri Emha Ainun Nadjib dan Viva Westi. Di tahun 2015, Pic[k]Lock Productions bekerja sama dengan Yayasan Keluarga Besar H.O.S. Tjokroaminoto dan MSH Films meluncurkan Guru Bangsa Tjokroaminoto yang disutradarai oleh Garin Nugroho.



Biodata Cak Nun (Emha Ainun Nadjib)
  • Nama Lengkap : Emha Ainun Nadjib
  • Alias : Cak Nun/Mbah Nun
  • Profesi : Budayawan
  • Agama : Islam
  • Tempat Lahir : Jombang, Jawa Timur
  • Tanggal Lahir : Rabu, 27 Mei 1953
  • Zodiac : Gemini
  • Warga Negara : Indonesia
  • Istri : Novia S. Kolopaking
  • Anak : Sabrang Mowo Damar Panuluh, Ainayya Al-Fatihah, Aqiela Fadia Haya, Jembar Tahta Aunillah, Anayallah Rampak Mayesha

Pendidikan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib)
  • SD, Jombang (1965)
  • SMP Muhammadiyah, Yogyakarta (1968)
  • SMA Muhammadiyah, Yogyakarta (1971)
  • Pondok Pesantren Modern Gontor
  • Fakultas Ekonomi UGM (tidak tamat)

Karir Cak Nun (Emha Ainun Nadjib)
  • Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970)
  • Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976)
  • Pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta)
  • Pemimpin Grup musik Kyai Kanjeng
  • Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media


Hari ini, 27 Mei 2018. Selamat ulang tahun, Mbah.
Sehat selalu, teruslah berkarya dan tetap menjadi panutan bagi generasi muda seperti kami.
Terima kasih.

---

Itu lah kilas kisah salah satu tokoh luarbiasa yang dimiliki Indonesia, Emha Ainun Nadjib. Bila ada kekeliruan mimin mohon maaf, dan silakan perbaiki lewat kolom komentar. Terima kasih sudah berkunjung.

Happy weekend, Sobat. :)





sumber artikel :
https://www.caknun.com
https://en.wikipedia.org/wiki/Emha_Ainun_Nadjib
https://news.detik.com/wawancara/2251574/emha-ainun-nadjib-reformasi-itu-omong-kosong
https://id.wikipedia.org/wiki/Noe
https://profilbiodataustadz.blogspot.co.id/2016/12/profil-biodata-dan-biografi-cak-nun.html

sumber foto :
https://www.caknun.com/author/emha-ainun-nadjib/
https://en.wikipedia.org/wiki/Emha_Ainun_Nadjib
https://www.caknun.com/2018/reformasi-gagal-total/
https://www.caknun.com/2014/banawa-sekar/
http://kenduricinta.com/v5/kronik-mei-1998/
http://www.hariandepok.com/2005/lirik-lagu-sandaran-hati-letto-band