Baca selengkapnya

Halo, Sobat. Apa kabar? Semoga selalu sehat dan bahagia, ya. Aamiin.
Nah, kali ini Timi Time balik lagi. Setelah minggu kemarin mengulas tentang salah satu tokoh nasional dan reformasi, yaitu Emha Ainun Nadjib, tokoh inspiratif minggu ini adalah salah satu sastrawan dan jurnalis tanah air. Siapakah gerangan?

Yup, Budi Parlindungan Hutasuhut atau lebih dikenal dengan sebutan Budi P. Hatees. Bagi para pecinta sastra, mestinya tidak asing dengan nama tersebut.


Hari ini, 3 Juni 2018, Budi P. Hatees genap berusia 46 tahun. Wah, masih muda, ya.
Budi lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan pada 3 Juni 1972. Ia merupakan anak kedua dari enam bersaudara pasangan Rencong P. Hutasuhut dan Nurhayati S. Nainggolan. Masa kecil Budi sebagaian besar dihabiskan di kampung kelahirannya.

Perjalanannya sebagai penulis bermula ketika Budi penasaran dengan salah satu desa yang bernama Desa Labu Jelok, yang mana merupakan desa yang disebut-sebut dalam roman legendaris, Azab dan Sengsara (Balai Pustaka, 1921) karya Merari Siregar. Kebetulan, desa tersebut dekat dengan desa tempat Budi tinggal. Budi kecil yang penasaran pun akhirnya berkunjung ke desa itu. Ketika tiba di sana, Budi terkesima. Desa Labu Jelok yang dilihatnya sama persis dengan yang digambarkan pada roman Azab dan Sengsara. Berawal dari situ lah, muncul keinginan pada diri Budi untuk menulis cerita berlatar kampung halamannya.

Selain faktor lingkungan, faktor keluarga juga mempunyai peran besar menyulut keinginan Budi untuk menjadi penulis, terutama sang ibu.
Ketika Budi P. Hatees masih kecil, ibunya yang seorang seniman perajin kain adat di daerah Sipirok kerap menyuruh Budi untuk menceritakan kembali semua komik yang telah dibacanya. Selain itu, Budi juga rajin membaca koran Simponi, Swadesi, dan Sinar Harapan. Di koran tersebut, selain memuat informasi undian Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) atau Porkas yang menjadi alasan utama ayah Budi membeli Simponi, juga memuat karya sastra, seperti puisi dan cerpen.

Namun, dukungan tidak sepenuhnya datang dari sang ayah.
Budi sering kali dimarahi ayahnya ketika menulis. Lantaran Budi selalu menggunakan perangkat kerja ayahnya seperti mesin tik dan kertas, yang kala itu ayahnya menjabat sebagai lurah di Kelurahan Hutasuhut dan tidak ingin mesin tik digunakan selain untuk keperluan dinas. Dengan cerdiknya, Budi mencoba merayu ayahnya dengan sebungkus rokok yang dibelinya dari uang hasil jerih payahnya menulis cerpen. Namun, itu tidak berbuah manis. Meski begitu, Budi tetap bersikeras menggunakan mesin tik ayahnya saat malam hari.

Ada satu 'kenakalan' Budi yang ia lakukan demi bisa membaca novel Orang-Orang Bloomington (1950) karya Budi Darma.
Saat itu, Budi masih duduk di bangku SMP Negeri Sipirok. Perpustakaan sekolah itu memuat cukup banyak koleksi sastra. Budi yang mulai keranjingan sastra pun merasa tidak memiliki waktu cukup membaca di sekolah. Hampir semua buku berbau sastra yang ada di perpustakaan pernah dipinjamnya dan dibaca di rumah. Sayangnya, pustakawan tidak mengizinkan Budi ketika ia ingin meminjam novel Orang-Orang Bloomington dan membawanya pulang, karena koleksi novel itu hanya satu buah. Larangan pustakawan itu pun tidak membuat Budi menyerah. Dengan cerdiknya, Budi merobek beberapa halaman novel itu per hari dan membawanya pulang agar bisa membaca sekaligus memiliki novel karya Budi Darma tersebut.
Sampai sekarang, sobekan Orang-Orang Bloomington dari halaman pertama sampai terakhir masih tersimpan rapi di rumah orang tuanya.

Setelah lulus SMP, Budi melanjutkan ke SMAN Sipirok. Sejak saat itu, karya-karyanya mulai beragam (puisi, cerpen, esai, sajak, cerita bersambung) dan masuk ke berbagai media cetak seperti Taruna Baru, Waspada, Bintang dan Sport, Sinar Indonesia Baru, Simponi, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, Bali Post, Singgalang, Anita Cemerlang, Mode, Gadis, Ceria, Majalah Keluarga, Citra, Nova, Suara Pembaruan, Jayakarta, Suara Karya, Mutiara, Paron, Swadesi, Majalah Ummi, Annida, Republika, Media Indonesia, Koran Tempo, dan Bisnis Indonesia.
Selain menulis, Budi juga disibukan oleh jabatannya sebagai ketua OSIS SMA Sipirok. Membuatnya harus lebih pandai mengelola waktu.

Sebetulnya, karya pertama Budi yang dimuat di media cetak bukanlah cerpen. Melainkan puisi dengan judul ”Kemarau I”, ”Kemarau II”, ”Kemarau III”, ”Kemarau IV”, dan ”Kemarau V” yang dimuat di koran Demi Massa. Meski tidak mendapat honor, Budi merasa puas karena puisi-puisi tersebut dimuat di koran. Di samping itu, ia mendapatkan kebanggan tersendiri karena dapat menggambarkan kondisi desanya dalam sebuah karya, seperti yang dicita-citakan ketika dia berkunjung ke Desa Labu Jelok.

Kover cerpen Ayat Kedelapan (Media Indonesia, 31 Maret 2013)
Pada tahun 1991, setelah menyelesaikan studinya di SMA, Budi pindah ke Jakarta untuk melanjutkan studinya di Jurusan Ilmu Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta. Institut tersebut didirikan oleh pamannya, A.M. Hutasuhut, bersama wartawan dan sastrawan.

Tahun 1996, Budi bersama sejumlah sastrawan di Sumatera Utara seperti Harta Pinem, Thomson Hs, Romulus ZI Siahaan, Teja Purnama, Sn Ratman, dan Suyadi San mendirikan Forum Kreasi Sastra (FKS) di Medan. Komunitas ini memiliki kegiatan berupa diskusi sastra, proses kreatif, dan menerbitkan beberapa antologi puisi.
Setelah FKS berdiri, Budi mendapatkan kesempatan untuk menjadi penulis pentas seni (kritikus) di Taman Budaya Sumatera Utara. Di tahun ini pula, Budi menjadi Juara I lomba menulis puisi dalam rangka ulang tahun Medan bertajuk Medan Bestari.

Setahun di Medan membuatnya rindu dengan kawan-kawannya di Jakarta. Tetapi, Jakarta yang padat juga membuatnya gerah. Tidak sampai empat bulan di Jakarta, Budi memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Dalam perjalanan pulang, dia menjumpai beberapa kawannya yang hendak pergi ke Lampung untuk melamar pekerjaan. Mendengar kawannya ingin melamar pekerjaan, hati Budi tergoda untuk ikut serta mencari peruntungan di Lampung. Sesampainya di Lampung, Budi melamar pekerjaan sebagai wartawan di Harian Lampung Post.
Setelah mengikuti berbagai tes, dari kesepuluh orang kawannya yang ikut melamar, ternyata Budi yang diterima bekerja. Ikatan kerja dengan Lampung Post membuat Budi memutuskan pindah ke Lampung. Sejak saat itu, mulailah Budi bersinggungan dengan ranah Lampung. Ternyata, Budi juga memiliki alasan tersendiri ketika dia memutuskan untuk menetap di Lampung. Menurutnya, Lampung memiliki keunikan. Kondisi geografis yang cukup menarik, daerah pegunungan dan lautan bertemu, membuat nalurinya dapat merasakan bahwa suasana yang seperti itulah yang akan memberikannya berbagai inspirasi dalam menulis.

Tahun 1997, Budi berkenalan dengan seorang gadis bernama Hesma Eryani, rekan kerjanya di Lampung Post. Mereka memutuskan untuk mengarungi bahtera rumah tangga di tahun yang sama. Pasangan tersebut dikaruniai buah hati seorang gadis cantik bernama Raraz Asghari Ghiffarina Hutasuhut. Ada sekitar lima belas puisi Budi yang dimuat di media massa atau hanya dipajang di ruang maya (budihatees.blogspot.com) terinspirasi oleh Raraz.

Budi P. Hatees memang pekerja keras. Bekerja sebagai jurnalis dan menjadi penanggungjawab Lampung Post Online tidak cukup membuatnya puas. Di luar Lampung Post, Budi menjabat ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung periode 2004 sampai dengan 2007. Di samping itu, ia pun menjadi anggota Tim Pusat Kajian Budaya (PUSAKA) Lampung yang meneliti masalah kebudayaan Lampung.



Sebagai seorang sastrawan yang telah banyak menghasilkan karya, tak pelak Budi P. Hatees mendapatkan sanjungan dan kritikan dari sesama sastrawan maupun dari pembacanya. Tapi Budi tetap Budi, apapun kritik yang datang kepada dirinya selalu ditanggapi dengan bijak. Selama berkarya, Budi telah menghasilkan sejumlah karya, berikut ini beberapa di antaranya.

1. Puisi
1) ”Cuaca Buruk” Republika, 3 Januari 1998.2) Beranda Sunyi (Antologi Puisi Tunggal). Medan: Panggung Sastra. 1995.3) Perjalanan Sunyi (Antologi Puisi Tunggal). Medan: Panggung Sastra. 1996.4) Graffiti Grattituted (Antologi Bersama Puisi Cyber). Bandung: Yayasan Multimedia Sastra. 2000.5) Dua Generasi (Antologi Bersama Puisi). Lampung: Yayasan Jung. 2003.6) Dua Wajah (Antologi Bersama Puisi). Jakarta: Masyarakat Sastra Jakarta. 2003.7) Konser Ujung Pulau (Antologi puisi). Lampung: Dewan Kesenian Lampung. 20038) Sastrawan Dua Generasi (Antologi Cerpen dan Sajak). Lampung: Yayasan Jung. 2004.

Cerita Pendek1) ”Astuti” Anita Cemerlang, 1988.2) Ketika Duka Tersenyum (Antologi Bersama Cerpen). Jakarta: FBA Press. 2000.3) Ini Sirkus Senyum (Antologi Bersama Cerpen). Yogyakarta: Penerbit Bumimanusia. 2001.4) Cermin dan Malam Ganjil (Antologi Bersama Cerpen). Jakarta: FBA Press. 2003.5) ”Partonun” Tabloid Nova, April 2003.6) Accident 2 U (Antologi Bersama Cerpen). Jakarta: FBA Press. 2004.7) Anak Sepasang Bintang (Antologi Bersama Cerpen). Jakarta: Penerbit Senayan Abadi. 2005.8) “Sebambangan” Lampung Post, 29 Mei 2005.



Karya-karya Budi P. Hatees saat ini tidak jauh berbeda dengan karyanya ketika pertama kali terjun ke dunia tulis-menulis. Hampir dari keseluruhan karyanya merupakan buah kontemplasi terhadap permasalahan yang terjadi di sekelilingnya. Mulai dari diri, lingkungan, budaya sampai politik pernah diluapkan Budi melalui tulisan-tulisannya.

Silakan kunjungi Kumpulan Cerpen KompasCerpen Koran Minggu, dan Sastra Indonesia bila ingin menikmati karya Budi P. Hatees.

---

Itu lah kilas kisah salah satu sastrawan dan jurnalis yang dimiliki Indonesia. Semoga kegigihan Budi Parlindungan Hutasuhut dalam mengejar impiannya dapat menginspirasi sobat untuk tidak mudah putus asa. Bila ada kekeliruan mimin mohon maaf, dan silakan perbaiki lewat kolom komentar. Terima kasih sudah berkunjung.

Happy weekend, Sobat :)

sumber foto:
http://paratokohlampung.blogspot.com/2008/12/budi-p-hatees.html
https://lakonhidup.com/2013/03/31/ayat-kedelapan/
https://sunaryojw.blogspot.com/2017/12/biografi.html

sumber artikel:
https://id.wikipedia.org/wiki/Budi_P._Hatees
http://paratokohlampung.blogspot.com/2008/12/budi-p-hatees.html yang dikutip dari Agus Sri Danardana dkk. 2008. Ensiklopedia Sastra Lampung. Bandarlampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung. Hlm. 19-28.