Irvan melamun di bangkunya ketika pelajaran kosong. Dia tak berniat ke luar untuk ke kantin atau ngobrol. Dia masih merasa asing dengan suasana yang baru satu minggu dikenalnya itu. Seseorang menepuk bahunya dan duduk di bangku di depannya. “Melamun, eh? Bagaimana komentarmu tentang sekolah ini?” tegur Riki. “Cewek kelas satu cakep-cakep, ya?” ujar Irvan meringis. Riki tersenyum. “Jangan jauh-jauh. Kelas ini juga punya cewek cakep, lho,” katanya. “Si Mirsa misalnya, yang duduk di ujung kiri depan itu. Atau Linda si kacamata minus yang rambutnya bagus. Lalu Rita, Yanti ... wah, banyaklah! Tapi rata-rata sudah punya pasangan, Van.” Irvan nyengir mendengar promosi itu. Lantas teringat olehnya sebuah nama. “Ada yang namanya Ristania Vidyani di sekolah ini, Rik? Kelas dua seperti kita juga kalau tidak salah.” Riki menatap Irvan setengah heran. Saat itu seorang gadis masuk. Riki melirik, lalu menyentuh lengan Irvan yang sedang mencorat-coret buku. “Tuh yang kau cari!” bisiknya. Irvan menoleh, mengamati gadis itu. Itukah Tania? Cowok itu menemukan sosok tubuh sedikit kurus, jangkung dengan rambut pendek. Gayanya tak acuh. Irvan masih menatap ketika gadis itu menoleh padanya. Wajahnya yang buram dan bermata tajam membalas. Dahi itu berkerut tak senang. Lantas dia berbalik ke bangkunya, mengambil sesuatu dan keluar tanpa menoleh lagi. “Bagaimana?” tanya Riki menyadarkan Irvan. “Tidak cakep kan? Tapi menarik dengan keangkuhannya itu. Dia selalu menghindari cowok-cowok yang jatuh cinta padanya. Jadi kalau kau mau akrab dengannya, jangan sampai jatuh cinta ...” Irvan diam. Benaknya berputar-putar. Gadis itukah yang membuat Fadil jatuh bangun karena mencintainya? Fadil, sepupunya yang tampan dan banyak di kagumi cewek-cewek karena senyumnya yang memikat itu, jatuh cinta pada Tania? Aneh rasanya. Tania tidak cantik, wajahnya dingin dan mungkin hatinya juga beku. “Engkau belum mengenal dia, Van. Tania tidak cantik, tapi ada sesuatu pada sikapnya yang menarik cowok-cowok. Dekati dia dan ... kau akan tahu, bahwa apa yang ku katakan benar,” ujar Riki seolah dapat membaca jalan pikiran Irvan. Bel berbunyi. Riki meloncat turun dan duduk di sebelah Irvan. Anak-anak berdesakan masuk kelas. Pelajaran kimia akan segera dimulai.
0 Reviews